Masa remaja adalah masa yang sangat
indah tanpa beban. Namun setelah masa itu berlalu, hidup mulai diisi
dengan pertanyaan-pertanyaan rumit. Semenjak meninggalkan bangku SMA,
puluhan pertanyaan berdesakan masuk memenuhi pikiran, menagih sebuah
jawaban. Mereka berlahan lalu berubah, bermetamorfosis menjadi beban.
“Kamu bakalan kuliah kan? Kuliah dimana? Ambil jurusan apa? Yakin bakal
kuliah? Uang dari mana?”
Mengingat keuangan keluarga yang tidak begitu baik, bangku perkuliahan menjadi salah satu mimpi yang tidak pernah saya yakini dengan sungguh-sungguh. Keadaan serba terbatas selalu menghadapkan saya kepada pilihan-pilihan yang tidak bisa diingkari. Pilihan yang ada saat itu hanya dua, saya kuliah di Perguruan Tinggi Negeri atau tidak kuliah sama sekali. Untuk seorang calon mahasiswi yatim beribu PNS, biaya perkuliahan di Perguruan Tinggi Swasta memang tidak pernah bersahabat. Namun, Perguruan Tinggi Negeri pun bukanlah mimpi setinggi nyiur kelapa yang tergapai hanya dalam satu lompatan tinggi. Nilai-nilai akademis semasa SMA membuat saya harus berusaha 10 kali lipat lebih keras dari biasanya. Menunggu dalam ketidakpastian memang menyiksa, tetapi tiada senyum yang dapat mengimbangi rasa syukur saat mendengar kabar kelulusan saya.
Kebahagiaan itu relatif dan kepuasan itu tentatif. Menyatu dalam tubuh Perguruan Tinggi Negeri yang dikata-kata merupakan perguruan negeri terbaik di kota ini (Medan), ternyata belum mampu membebaskan saya dari peluru pertanyaan yang menembaki kepala dan mental saya hingga tumbang perlahan-lahan. Mulailah kerabat, tetangga, bahkan orang yang sekadar numpang lewat dalam hidup saya berkomentar ini itu, “Nanti kalau sudah lulus bisa kerja dimana dengan gelar seperti itu? Kenapa gak pilih jurusan lain saja, kan lebih banyak lapangan pekerjaannya tuh? Kapan lulusnya? IP kamu berapa? Pertanyaan berlanjut terus bahkan setelah saya mendapatkan gelar sarjana. Kamu sudah kerja? Kerja dimana? Kenapa melakukan pekerjaan seperti itu? Dapat gaji berapa?
Hal yang paling menjemukan di Indonesia ini adalah pikiran-pikiran umum yang senantiasa menggeneralisasikan segala hal dengan kebiasaan. Pikiran-pikiran seperti itulah yang tanpa sadar mengintimidasi mental dan memaksa kita membiasa agar tidak terlihat luar biasa. Masyarakat kebanyakan beranggapan bahwa seorang sarjana itu seharusnya berada di kantoran, pakai baju rapi, gaji yang lumayan tinggi, pemikiran orang zaman dulu yang cenderung konvensional. Sungguhpun demikian, saya tidak dapat menepis bahwa pemikiran itu sempat mengendalikan saya. Saya pun akhirnya bekerja ke perusahaan bernama dengan gaji “gede” di tangan, tetapi semua ide kreatif saya dimentahkan oleh pimpinan karena terlalu “WOW”, beresiko, dan tidak biasa. Lalu saya putuskan berhenti bekerja dan membuka usaha online shop yang masih saya jalani sampai saat ini.
Pertanyaan bising semakin membludak. Sarjana kok kerjanya jualan? Dapat berapa sih dari situ? Kenapa ga cari kerja lagi? Masa depannya dimana?
Saat itu, saya hanya berpikir untuk melakukan apa yang menjadi hasrat hidup ini, yaitu berbisnis. Maka jadilah saya manusia bertelinga, tapi tak mendengar. Bisik-bisik itu memang senantiasa mengusik, tetapi saya tidak peduli. Orang-orang di sekitar saya mungkin berpendapat kalau lulusan SD juga bisa jualan, tidak perlu sampai sarjana. Namun ketahuilah, itu benar-benar tidak ada hubungannya di dunia bisnis karena bisnis bicara kemauan dan semangat.
Pertanyaan bukan sesuatu yang harus dihindari. Ada pertanyaan, berarti ada masalah, ada masalah menandakan saya masih hidup. Dan saat saya masih hidup, saya wajib menghadapi pertanyaan yang ada bahkan bertarung dengannya. Pertanyaan-pertanyaan ini sungguh membantu saya untuk terus bergerak maju. Setiap pertanyaan saya coba jawab dengan action. Ada beberapa pertanyaan yang tidak perlu dijawab dan ada yang perlu tetapi saya belum bisa menjawabnya. Suatu hari saya pasti menjawabnya, bagaimana saya akan sukses dengan pilihan yang saya ambil saat ini. Ya ini sebuah proses, semakin bertambah umurmu maka dunia semakin menuntut mu untuk berlari lebih kencang. Jangan pernah menolak untuk diproses. MOVE ON!
“Hidup adalah perjuangan dan saya harus memenangkannya ~ Merry Riana”
Mengingat keuangan keluarga yang tidak begitu baik, bangku perkuliahan menjadi salah satu mimpi yang tidak pernah saya yakini dengan sungguh-sungguh. Keadaan serba terbatas selalu menghadapkan saya kepada pilihan-pilihan yang tidak bisa diingkari. Pilihan yang ada saat itu hanya dua, saya kuliah di Perguruan Tinggi Negeri atau tidak kuliah sama sekali. Untuk seorang calon mahasiswi yatim beribu PNS, biaya perkuliahan di Perguruan Tinggi Swasta memang tidak pernah bersahabat. Namun, Perguruan Tinggi Negeri pun bukanlah mimpi setinggi nyiur kelapa yang tergapai hanya dalam satu lompatan tinggi. Nilai-nilai akademis semasa SMA membuat saya harus berusaha 10 kali lipat lebih keras dari biasanya. Menunggu dalam ketidakpastian memang menyiksa, tetapi tiada senyum yang dapat mengimbangi rasa syukur saat mendengar kabar kelulusan saya.
Kebahagiaan itu relatif dan kepuasan itu tentatif. Menyatu dalam tubuh Perguruan Tinggi Negeri yang dikata-kata merupakan perguruan negeri terbaik di kota ini (Medan), ternyata belum mampu membebaskan saya dari peluru pertanyaan yang menembaki kepala dan mental saya hingga tumbang perlahan-lahan. Mulailah kerabat, tetangga, bahkan orang yang sekadar numpang lewat dalam hidup saya berkomentar ini itu, “Nanti kalau sudah lulus bisa kerja dimana dengan gelar seperti itu? Kenapa gak pilih jurusan lain saja, kan lebih banyak lapangan pekerjaannya tuh? Kapan lulusnya? IP kamu berapa? Pertanyaan berlanjut terus bahkan setelah saya mendapatkan gelar sarjana. Kamu sudah kerja? Kerja dimana? Kenapa melakukan pekerjaan seperti itu? Dapat gaji berapa?
Hal yang paling menjemukan di Indonesia ini adalah pikiran-pikiran umum yang senantiasa menggeneralisasikan segala hal dengan kebiasaan. Pikiran-pikiran seperti itulah yang tanpa sadar mengintimidasi mental dan memaksa kita membiasa agar tidak terlihat luar biasa. Masyarakat kebanyakan beranggapan bahwa seorang sarjana itu seharusnya berada di kantoran, pakai baju rapi, gaji yang lumayan tinggi, pemikiran orang zaman dulu yang cenderung konvensional. Sungguhpun demikian, saya tidak dapat menepis bahwa pemikiran itu sempat mengendalikan saya. Saya pun akhirnya bekerja ke perusahaan bernama dengan gaji “gede” di tangan, tetapi semua ide kreatif saya dimentahkan oleh pimpinan karena terlalu “WOW”, beresiko, dan tidak biasa. Lalu saya putuskan berhenti bekerja dan membuka usaha online shop yang masih saya jalani sampai saat ini.
Pertanyaan bising semakin membludak. Sarjana kok kerjanya jualan? Dapat berapa sih dari situ? Kenapa ga cari kerja lagi? Masa depannya dimana?
Saat itu, saya hanya berpikir untuk melakukan apa yang menjadi hasrat hidup ini, yaitu berbisnis. Maka jadilah saya manusia bertelinga, tapi tak mendengar. Bisik-bisik itu memang senantiasa mengusik, tetapi saya tidak peduli. Orang-orang di sekitar saya mungkin berpendapat kalau lulusan SD juga bisa jualan, tidak perlu sampai sarjana. Namun ketahuilah, itu benar-benar tidak ada hubungannya di dunia bisnis karena bisnis bicara kemauan dan semangat.
Pertanyaan bukan sesuatu yang harus dihindari. Ada pertanyaan, berarti ada masalah, ada masalah menandakan saya masih hidup. Dan saat saya masih hidup, saya wajib menghadapi pertanyaan yang ada bahkan bertarung dengannya. Pertanyaan-pertanyaan ini sungguh membantu saya untuk terus bergerak maju. Setiap pertanyaan saya coba jawab dengan action. Ada beberapa pertanyaan yang tidak perlu dijawab dan ada yang perlu tetapi saya belum bisa menjawabnya. Suatu hari saya pasti menjawabnya, bagaimana saya akan sukses dengan pilihan yang saya ambil saat ini. Ya ini sebuah proses, semakin bertambah umurmu maka dunia semakin menuntut mu untuk berlari lebih kencang. Jangan pernah menolak untuk diproses. MOVE ON!
“Hidup adalah perjuangan dan saya harus memenangkannya ~ Merry Riana”
Kata-kata Merry Riana di akhir benar-benar menggena.
BalasHapus